Minggu, 30 Juli 2017

Youth Series 1: Dream (FF Oneshoot BTS Rap Monster)


Youth Series 2
Youth Series 3
Youth Series 4
Youth Series 5
Youth Series 6
Youth Series 7



Youth Series 1: Dream


Aku melihatnya tersenyum, lesung pipinya begitu menggemaskan. Dia masih terus tersenyum saat aku beralih melihat kedua matanya. Sejak tadi dia memandangku. Dan sekarang, aku pun tidak bisa mengalihkan pandanganku dari matanya. Aku berkedip beberapakali karena mataku kering saking lamanya menatap mata seseorang dihadapanku ini. Tapi dia tidak bergeming, masih saja tersenyum dan menatapku.
“Hei, berhentilah memandangi poster seperti itu.” Aku menoleh dan mendapati seseorang berpostur tinggi dan berambut pirang berdiri diambang pintu kamarku.
“Ah, Omma.” Aku berjalan menghapiri Omma. “Omma, bolehkah aku ke Seoul?”
“Untuk?” Omma mengerutkan dahinya.
“Bertemu Kim Namjoon.” Jawabku polos.
Omma mengacak rambutku. “Ah, kau begitu mengidolakan monster manis itu, ya.” Omma menurunkan tangannya dan tersenyum. “Well, setelah kau dewasa nanti.” Omma berbalik dan berjalan menuruni tangga. “Segeralah turun Il! Nanti kau terlambat sekolah!”
Aku mengehela nafas dan berdecak. Lalu membanting pintu kamar yang sama sekali tidak bersalah. Menyebalkan saat aku harus kembali kedunia nyata. Aku berjalan menuju meja belajar dengan lesu dan menjejalkan asal buku-buku kedalam tasku. Andai saja Namjoon disini, dia pasti akan membantuku menyiapkan alat sekolah. Memberi kecupan lembut didahiku sebelum aku berangkat, dan...
“Illa-ya! Palli!! (Illa! Cepat!!)” Teriakan Omma dari lantai bawah terdengar nyaring. Pertanda bahwa aku harus segera meninggalkan Namjoon dan berbagai jenis imajinasi diotakku.
***
Terdengar suara berdenting saat aku membuka pintu kafe bernuansa pink ini. Kafe ini sepi. Sama sekali tidak ada seorangpun di cafe ini kecuali seorang pria yang sedang bermain game dari ponselnya di balik meja pesan. Ku rasa, tidak lama lagi cafe ini akan gulung tikar.
“Americano, Kook!” Kataku, saat melewati meja pesan tanpa menghiraukan seseorang dibalik meja pesan yang tidak lain adalah sepupuku sendiri.
Aku melihat Jungkook sesaat setelah mendudukan bokongku dikursi paling pojok. Jungkook sama sekali tidak menggubrisku. Ia tetap terpaku pada layar ponselnya. “Cepat buatkan atau kau akan kehilangan satu-satunya pelanggan setiamu!”
Akhirnya Jungkook berhenti menatap ponsel. Ia memasukkannya ke saku lalu berjalan meninggalkan meja pesan. “Buat saja sendiri, aku keluar sebentar.” Ia menyambar jaketnya digantungan dekat pintu, lalu meninggalkanku dengan suara dentingan itu.
“Hahh..” Aku membuka mulut keheranan. Seharusnya aku tidak perlu melakukannya karena aku sudah terbiasa dengan sikap tidak manusiawi Jungkook.
Mau tidak mau aku beranjak dari duduk nyamanku untuk membuat Americano sendiri. “Aku yakin, dalam jangka waktu kurang dari 1 bulan, Jungkook akan menjadi pengangguran.” Aku terus menggerutu dan menyumpahkan Jungkook bangkrut. Sejak satu tahun lalu aku sudah terlampau sering melakukannya, tapi tetap saja, entah rugi atau tidak, Jungkook belum menutup kafenya sampai saat ini.
Aku menuangkan bubuk kopi kepenyaringan, tidak ada suara lain disini kecuali gesekan bubuk kopi dengan sendok. Tapi sepersekian detik berikutnya telingaku menangkap suara lain. Suara berdeting dari pintu masuk. Aku menoleh, mendapati seorang pria tinggi dengan seragam sekolah yang sama denganku. Mataku terbelalak, barang satu detikpun berkedip tidak mau. Wajahnya sama sekali tidak asing, aku selalu melihatnya sepanjang hari, di kamarku, di ponselku, di mimpiku, di imajinasiku. Kim Namjoon, dalam versi lebih muda, namun sama sekali tidak mengurangi pesonanya yang sekarang.
“Emm... Aku pesan 1 Americano.” Dia tersenyum, lesung pipinya persis seperti poster yang terpampang di kamarku.
“1 Americano.” Dia mengulangi pesanan-nya, namun kali ini raut wajah bingung yang dia tampilkan.
“Apa ini nyata?” Akhirnya mulutku yang kaku sudah mampu bicara, meski bagian tubuhku yang lain masih seperti mannequin.
“Apa maksudmu?”
“Apa kau Kim Namjoon?” Sekali lagi mulutku berhasil terbuka, tapi tanganku yang memegang sendok masih menggantung diatas mesin kopi.
Dia menunduk, sekilas melihat name-tagnya. “Ya, tentu saja.”
Iris mataku mengekor pada apa yang dilihatnya, membaca name-tagnya. KIM-NAM-JOON. Seseorang pemilik nama yang selalu aku elu-elukan berada didepanku, bagaimana bisa?
***
Satu persatu langkahku menyusuri trotoar, hiruk pikuk Busan masih sama seperti malam sebelumnya, Jalur pertokoan yang aku lewati masih sama seperti malam sebelumnya, dan arah tujuanku juga masih sama seperti malam sebelumnya. Tapi kali ini berbeda, langkahku lebih santai, bibirku terus berceritra dan menanggapi, dan jantung ini, bedetak lebih kencang.
Mataku melirik, dan kepalaku sedikit mendongak untuk sekilas melihat wajahnya. Diberkatilah mataku, dia menggelak tawa diakhir ceritanya, dan menampakkan lesung pipi itu lagi. Gendang telingaku terasa menggembung dan mau pecah saat tawanya semakin renyah. Persetan, ini karunia macam apa? Ingin rasanya aku bungkam mulutnya dengan bibirku agar dia diam.
“Hei, berhenti memandangiku seperti itu. Nanti kau bisa jatuh cinta padaku.” Dia menghentikan tawanya, tapi masih terkekeh.
“Aku sudah jatuh cinta padamu.” Jawabku tak acuh dengan apa yang akan dia pikirkan tentangku.
Dia berdehem, menatap lurus kedepan, alih-alih takut menabrak tiang lampu, dia sengaja menghindari tatapanku. “Aku bukan Kim Namjoon. Maksudku, aku bukan Kim namjoon, rapper yang kau idolakan itu. Aku hanya teman satu sekolahmu yang kebetulan mirip dan memiliki nama yang sama dengannya.”
“Tapi aku tetap mencintaimu.”
“Kau hanya terobsesi.”
“Tidak, aku mencintaimu.”
Tangannya yang panjang melingkar dibahuku. Mendekatkan tubuhku dengannya. Tidak ada tanggapan lagi dari ucapanku. Kami hanya berjalan dalam diam. Aku yakin dia merasa tidak nyaman karena perkataanku. Tapi apa boleh buat. Aku nyaman berada dalam dekapannya. Sangat nyaman.
***
“I’m homeee!!!” Aku tersenyum melihat Omma yang berdiri diambang pintu. Tidak biasanya dia menungguku pulang sekolah didepan pintu. Apa yang dia inginkan?
“Pulang larut lagi.” Bukan marah yang dia tampilkan diwajahnya, bukan juga wajah bersahabat seperti biasanya. Sendu.
“Ya.” Aku mengedikkan bahu, memperjelas bahwa pulang larut bagi pelajar Korea Selatan bukanlah hal yang brutal.
“Bersama Namjoon lagi?” Tatapan Omma malam ini sangat berbeda. Aku membencinya. Bukan, aku tidak membenci Omma, tapi tatapan Omma malam ini. “Kau baru seminggu mengenalnya. Jangan terlalu dekat, Illa.”
“Namjoon pria baik, Omma.” Aku memutar bola mata. Kesal jika seseorang berprasangka buruk pada Namjoon.
Ku dapati Jungkook duduk disofa rumahku saat aku berjalan melewati Omma. “Hya! Joen Jungkook! Ternyata kau disini.”
“Bicaralah yang sopan, Illa!” Aku menoleh kearah Omma yang sekarang menutup pintu. Sudah berkali-kali Omma berkata seperti itu, jadi bukan hal baru jika aku mengacuhkannya.
“Ku pikir kau bangkrut saat kulihat kafe-mu tutup. Jadi, aku dan Namjoon pergi ke taman. Kau buka kan besok? Aku dan Namjoon mau kesana.” Aku terus berjalan memasuki bagian dalam rumah tanpa menghiraukan Jungkook yang kuajak bicara.
“Namjoon siapa?” Praktis langkahku terhenti saat mendengar pertanyaan Jungkook.
“Yang benar saja, ternyata kau tidak mengabaikannya saat bertemu saja.” Aku meneruskan langkahku, kali ini beranjak menaiki anak tangga.
“Kapan aku bertemu dengannya?” Aku menghela nafas kesal mendengar suara Jungkook yang semakin membesar sejak massa pubertasnya.
“Dia berkali-kali ke kafe mu bersamaku, tapi kau selalu mengabaikannya! Apa begitu sikapmu pada pelanggan!” Aku meninggikan suara karena jarakku dengan Jungkook semakin jauh. “Lihatlah, Omma! Aku belajar tidak sopan dari siapa!”
***
 Suara sepatu kets yang bergesekan dengan tangga menggema disudut ruangan. Namjoon sudah menungguku, aku harus bergegas. Langkah cepat dari sepatu ketsku terhenti saat aku berpapasan dengan cermin yang terpajang ditembok. Sekali lagi aku merapikan rambutku yang terurai. Meyakinkan diri sendiri jika penampilanku sudah menarik. Aku berbalik setelah melihat bayangan Jungkook terpantul di cermin.
“Apa kau menginap disini, Kook? Apa kau benar-benar bangkrut sehingga kau takut pulang kerumah?” Aku terkekeh. Berpikir bahwa doa ku selama ini terkabul.
“Illa, tumben di hari minggu kau sudah rapi pagi-pagi begini.” Omma menghampiri kami membawa nampan beriri dua gelas susu.
Aku dan Jungkook menyambar dan meneguk segelas susu bersamaan. “Namjoon sudah menungguku, Omma.” Aku mengangkat ponsel yang ku genggam sekilas. Mengisyaratkan bahwa Namjoon sudah mengirimiku pesan agar aku bergegas.
“Boleh aku pinjam ponselmu?” Omma mengangkat dagu menunjuk ponselku.
Ku letakkan ponselku diatas nampan. Satu tangan Omma mengambilnya, lalu satu tangannya lagi yang masih memegang nampan diturunkan. Beberapa saat dia mengecek ponselku, kemudian mengembalikannya.
“Seperti katamu, Kook.” Wajah sendu Omma yang semalam kembali lagi. “Kau harus ikut Omma sekarang, Il.” Omma berbalik dan kembali ke dapur.
“Omma, aku ada janji dengan Namjoon.” Aku berjalan mengikuti Omma.
“Batalkan.”
“Omma!” Suaraku meninggi, berharap Omma bercanda dengan apa yang dia katakan. “Tidak bisa seperti itu Omma, kalau kau  ingin mengajakku kenapa kau tidak mengatakannya dari kemarin? Kenapa mendadak Omma? Namjoon sudah menungguku.”
“Ikuti saja perintah Omma, Illa!” Omma membentakku. Namun kali ini rasanya berbeda. Ada kilauan dimatanya. Dia menoleh dan sesaat kemudian aku mendengar isakan yang tertahan.
***
Salju pertama tahun ini melayang-layang diudara lalu menjatuhkan dirinya ditanah. Beberapa diantaranya tersangkut ranting dan dedaunan. Beberapa lainnya terjun bebas digenting-genting, merubah warna-warni menjadi kelam. Mereka bilang putih itu indah. Putih itu sendu, lemah, dan tidak berdaya. Lihatlah, putih itu menjadi kusam setelah sebuah mobil melintas diatasnya. Dengan mudahnya dia tergores warna lain, tidak mampu mempertahankan putihnya.
Pemandangan kelam dari luar jendela kembali mampu membuat produksi hormon andrenokortikotropik dalam tubuhku terpacu. Perlahan bahuku terguncang, lama-kelamaan isakan keluar dari mulutku, disertai air mata menetes dipipi. Mata bulatku kini cekung dan tepiannya menghitam, bibir merahku kini kering dan pucat. Entah kenapa aku bisa sesakit ini.
Aku melirik obat-obatan yang tergeletak diatas meja belajarku. Obat yang aku dapatkan dari psikiater Omma seminggu lalu. Omma sudah tidak pernah ke psikiater sejak aku SMP. Tapi seminggu lalu, secara tiba-tiba Omma mengajakku ke psikiater dan menghancurkan janjiku dengan Namjoon.
Aku menghela nafas dan menyeka air mataku. Apa aku harus kembali ke psikiater? Ya, seminggu lalu Omma yang butuh psikiater, tapi aku yang diperiksa dan diberi obat. Ku pikir itu semacam prosedur atau apa. Rasanya tenang saat aku bisa bercerita pada psikiater itu. Bercerita tentang Namjoon, Namjoon, dan Namjoon. Tapi setelah pulang dari psikiater Namjoon menghilang. Aku tidak pernah bertemu dengannya sepulang sekolah, tidak pernah menemuinya di kafe Jungkook, tidak di taman, bahkan dia tidak mengirim satupun pesan singkat padaku. Dan secara tiba-tiba, kontaknya lenyap dari ponselku. Aneh, bukan? Tapi dari pada aneh, aku lebih merasakan sakit.

-FIN-







0 komentar:

Posting Komentar

 

Lotus Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang