Youth Series 2
Youth Series 3
Youth Series 4
Youth Series 5
Youth Series 6
Youth Series 7
Youth Series 1: Dream
Aku
melihatnya tersenyum, lesung pipinya begitu menggemaskan. Dia masih terus
tersenyum saat aku beralih melihat kedua matanya. Sejak tadi dia memandangku.
Dan sekarang, aku pun tidak bisa mengalihkan pandanganku dari matanya. Aku berkedip
beberapakali karena mataku kering saking lamanya menatap mata seseorang
dihadapanku ini. Tapi dia tidak bergeming, masih saja tersenyum dan menatapku.
“Hei,
berhentilah memandangi poster seperti itu.” Aku menoleh dan mendapati seseorang
berpostur tinggi dan berambut pirang berdiri diambang pintu kamarku.
“Ah,
Omma.” Aku berjalan menghapiri Omma. “Omma, bolehkah aku ke Seoul?”
“Untuk?”
Omma mengerutkan dahinya.
“Bertemu
Kim Namjoon.” Jawabku polos.
Omma
mengacak rambutku. “Ah, kau begitu mengidolakan monster manis itu, ya.” Omma
menurunkan tangannya dan tersenyum. “Well, setelah kau dewasa nanti.” Omma berbalik
dan berjalan menuruni tangga. “Segeralah turun Il! Nanti kau terlambat
sekolah!”
Aku
mengehela nafas dan berdecak. Lalu membanting pintu kamar yang sama sekali
tidak bersalah. Menyebalkan saat aku harus kembali kedunia nyata. Aku berjalan
menuju meja belajar dengan lesu dan menjejalkan asal buku-buku kedalam tasku.
Andai saja Namjoon disini, dia pasti akan membantuku menyiapkan alat sekolah. Memberi
kecupan lembut didahiku sebelum aku berangkat, dan...
“Illa-ya!
Palli!! (Illa! Cepat!!)” Teriakan
Omma dari lantai bawah terdengar nyaring. Pertanda bahwa aku harus segera
meninggalkan Namjoon dan berbagai jenis imajinasi diotakku.
***
Terdengar
suara berdenting saat aku membuka pintu kafe bernuansa pink ini. Kafe ini sepi.
Sama sekali tidak ada seorangpun di cafe ini kecuali seorang pria yang sedang
bermain game dari ponselnya di balik meja pesan. Ku rasa, tidak lama lagi cafe
ini akan gulung tikar.
“Americano,
Kook!” Kataku, saat melewati meja pesan tanpa menghiraukan seseorang dibalik
meja pesan yang tidak lain adalah sepupuku sendiri.
Aku
melihat Jungkook sesaat setelah mendudukan bokongku dikursi paling pojok. Jungkook
sama sekali tidak menggubrisku. Ia tetap terpaku pada layar ponselnya. “Cepat
buatkan atau kau akan kehilangan satu-satunya pelanggan setiamu!”
Akhirnya
Jungkook berhenti menatap ponsel. Ia memasukkannya ke saku lalu berjalan
meninggalkan meja pesan. “Buat saja sendiri, aku keluar sebentar.” Ia menyambar
jaketnya digantungan dekat pintu, lalu meninggalkanku dengan suara dentingan
itu.
“Hahh..”
Aku membuka mulut keheranan. Seharusnya aku tidak perlu melakukannya karena aku
sudah terbiasa dengan sikap tidak manusiawi Jungkook.
Mau
tidak mau aku beranjak dari duduk nyamanku untuk membuat Americano sendiri.
“Aku yakin, dalam jangka waktu kurang dari 1 bulan, Jungkook akan menjadi
pengangguran.” Aku terus menggerutu dan menyumpahkan Jungkook bangkrut. Sejak
satu tahun lalu aku sudah terlampau sering melakukannya, tapi tetap saja, entah
rugi atau tidak, Jungkook belum menutup kafenya sampai saat ini.
Aku
menuangkan bubuk kopi kepenyaringan, tidak ada suara lain disini kecuali
gesekan bubuk kopi dengan sendok. Tapi sepersekian detik berikutnya telingaku
menangkap suara lain. Suara berdeting dari pintu masuk. Aku menoleh, mendapati
seorang pria tinggi dengan seragam sekolah yang sama denganku. Mataku terbelalak,
barang satu detikpun berkedip tidak mau. Wajahnya sama sekali tidak asing, aku
selalu melihatnya sepanjang hari, di kamarku, di ponselku, di mimpiku, di
imajinasiku. Kim Namjoon, dalam versi lebih muda, namun sama sekali tidak
mengurangi pesonanya yang sekarang.
“Emm...
Aku pesan 1 Americano.” Dia tersenyum, lesung pipinya persis seperti poster
yang terpampang di kamarku.
“1
Americano.” Dia mengulangi pesanan-nya, namun kali ini raut wajah bingung yang
dia tampilkan.
“Apa
ini nyata?” Akhirnya mulutku yang kaku sudah mampu bicara, meski bagian tubuhku
yang lain masih seperti mannequin.
“Apa
maksudmu?”
“Apa
kau Kim Namjoon?” Sekali lagi mulutku berhasil terbuka, tapi tanganku yang
memegang sendok masih menggantung diatas mesin kopi.
Dia
menunduk, sekilas melihat name-tagnya. “Ya, tentu saja.”
Iris
mataku mengekor pada apa yang dilihatnya, membaca name-tagnya. KIM-NAM-JOON.
Seseorang pemilik nama yang selalu aku elu-elukan berada didepanku, bagaimana
bisa?
***
Satu
persatu langkahku menyusuri trotoar, hiruk pikuk Busan masih sama seperti malam
sebelumnya, Jalur pertokoan yang aku lewati masih sama seperti malam sebelumnya,
dan arah tujuanku juga masih sama seperti malam sebelumnya. Tapi kali ini
berbeda, langkahku lebih santai, bibirku terus berceritra dan menanggapi, dan
jantung ini, bedetak lebih kencang.
Mataku
melirik, dan kepalaku sedikit mendongak untuk sekilas melihat wajahnya.
Diberkatilah mataku, dia menggelak tawa diakhir ceritanya, dan menampakkan
lesung pipi itu lagi. Gendang telingaku terasa menggembung dan mau pecah saat
tawanya semakin renyah. Persetan, ini karunia macam apa? Ingin rasanya aku
bungkam mulutnya dengan bibirku agar dia diam.
“Hei,
berhenti memandangiku seperti itu. Nanti kau bisa jatuh cinta padaku.” Dia
menghentikan tawanya, tapi masih terkekeh.
“Aku
sudah jatuh cinta padamu.” Jawabku tak acuh dengan apa yang akan dia pikirkan
tentangku.
Dia
berdehem, menatap lurus kedepan, alih-alih takut menabrak tiang lampu, dia
sengaja menghindari tatapanku. “Aku bukan Kim Namjoon. Maksudku, aku bukan Kim
namjoon, rapper yang kau idolakan itu. Aku hanya teman satu sekolahmu yang
kebetulan mirip dan memiliki nama yang sama dengannya.”
“Tapi
aku tetap mencintaimu.”
“Kau
hanya terobsesi.”
“Tidak,
aku mencintaimu.”
Tangannya
yang panjang melingkar dibahuku. Mendekatkan tubuhku dengannya. Tidak ada
tanggapan lagi dari ucapanku. Kami hanya berjalan dalam diam. Aku yakin dia
merasa tidak nyaman karena perkataanku. Tapi apa boleh buat. Aku nyaman berada
dalam dekapannya. Sangat nyaman.
***
“I’m
homeee!!!” Aku tersenyum melihat Omma yang berdiri diambang pintu. Tidak biasanya
dia menungguku pulang sekolah didepan pintu. Apa yang dia inginkan?
“Pulang
larut lagi.” Bukan marah yang dia tampilkan diwajahnya, bukan juga wajah
bersahabat seperti biasanya. Sendu.
“Ya.”
Aku mengedikkan bahu, memperjelas bahwa pulang larut bagi pelajar Korea Selatan
bukanlah hal yang brutal.
“Bersama
Namjoon lagi?” Tatapan Omma malam ini sangat berbeda. Aku membencinya. Bukan,
aku tidak membenci Omma, tapi tatapan Omma malam ini. “Kau baru seminggu
mengenalnya. Jangan terlalu dekat, Illa.”
“Namjoon
pria baik, Omma.” Aku memutar bola mata. Kesal jika seseorang berprasangka
buruk pada Namjoon.
Ku
dapati Jungkook duduk disofa rumahku saat aku berjalan melewati Omma. “Hya!
Joen Jungkook! Ternyata kau disini.”
“Bicaralah
yang sopan, Illa!” Aku menoleh kearah Omma yang sekarang menutup pintu. Sudah
berkali-kali Omma berkata seperti itu, jadi bukan hal baru jika aku
mengacuhkannya.
“Ku
pikir kau bangkrut saat kulihat kafe-mu tutup. Jadi, aku dan Namjoon pergi ke
taman. Kau buka kan besok? Aku dan Namjoon mau kesana.” Aku terus berjalan
memasuki bagian dalam rumah tanpa menghiraukan Jungkook yang kuajak bicara.
“Namjoon
siapa?” Praktis langkahku terhenti saat mendengar pertanyaan Jungkook.
“Yang
benar saja, ternyata kau tidak mengabaikannya saat bertemu saja.” Aku
meneruskan langkahku, kali ini beranjak menaiki anak tangga.
“Kapan
aku bertemu dengannya?” Aku menghela nafas kesal mendengar suara Jungkook yang
semakin membesar sejak massa pubertasnya.
“Dia
berkali-kali ke kafe mu bersamaku, tapi kau selalu mengabaikannya! Apa begitu
sikapmu pada pelanggan!” Aku meninggikan suara karena jarakku dengan Jungkook
semakin jauh. “Lihatlah, Omma! Aku belajar tidak sopan dari siapa!”
***
Suara sepatu kets yang bergesekan dengan
tangga menggema disudut ruangan. Namjoon sudah menungguku, aku harus bergegas.
Langkah cepat dari sepatu ketsku terhenti saat aku berpapasan dengan cermin
yang terpajang ditembok. Sekali lagi aku merapikan rambutku yang terurai.
Meyakinkan diri sendiri jika penampilanku sudah menarik. Aku berbalik setelah
melihat bayangan Jungkook terpantul di cermin.
“Apa
kau menginap disini, Kook? Apa kau benar-benar bangkrut sehingga kau takut
pulang kerumah?” Aku terkekeh. Berpikir bahwa doa ku selama ini terkabul.
“Illa,
tumben di hari minggu kau sudah rapi pagi-pagi begini.” Omma menghampiri kami
membawa nampan beriri dua gelas susu.
Aku
dan Jungkook menyambar dan meneguk segelas susu bersamaan. “Namjoon sudah
menungguku, Omma.” Aku mengangkat ponsel yang ku genggam sekilas.
Mengisyaratkan bahwa Namjoon sudah mengirimiku pesan agar aku bergegas.
“Boleh
aku pinjam ponselmu?” Omma mengangkat dagu menunjuk ponselku.
Ku
letakkan ponselku diatas nampan. Satu tangan Omma mengambilnya, lalu satu
tangannya lagi yang masih memegang nampan diturunkan. Beberapa saat dia mengecek
ponselku, kemudian mengembalikannya.
“Seperti
katamu, Kook.” Wajah sendu Omma yang semalam kembali lagi. “Kau harus ikut Omma
sekarang, Il.” Omma berbalik dan kembali ke dapur.
“Omma,
aku ada janji dengan Namjoon.” Aku berjalan mengikuti Omma.
“Batalkan.”
“Omma!”
Suaraku meninggi, berharap Omma bercanda dengan apa yang dia katakan. “Tidak
bisa seperti itu Omma, kalau kau ingin
mengajakku kenapa kau tidak mengatakannya dari kemarin? Kenapa mendadak Omma?
Namjoon sudah menungguku.”
“Ikuti
saja perintah Omma, Illa!” Omma membentakku. Namun kali ini rasanya berbeda.
Ada kilauan dimatanya. Dia menoleh dan sesaat kemudian aku mendengar isakan
yang tertahan.
***
Salju
pertama tahun ini melayang-layang diudara lalu menjatuhkan dirinya ditanah.
Beberapa diantaranya tersangkut ranting dan dedaunan. Beberapa lainnya terjun
bebas digenting-genting, merubah warna-warni menjadi kelam. Mereka bilang putih
itu indah. Putih itu sendu, lemah, dan tidak berdaya. Lihatlah, putih itu
menjadi kusam setelah sebuah mobil melintas diatasnya. Dengan mudahnya dia
tergores warna lain, tidak mampu mempertahankan putihnya.
Pemandangan
kelam dari luar jendela kembali mampu membuat produksi hormon andrenokortikotropik
dalam tubuhku terpacu. Perlahan bahuku terguncang, lama-kelamaan isakan keluar
dari mulutku, disertai air mata menetes dipipi. Mata bulatku kini cekung dan
tepiannya menghitam, bibir merahku kini kering dan pucat. Entah kenapa aku bisa
sesakit ini.
Aku
melirik obat-obatan yang tergeletak diatas meja belajarku. Obat yang aku
dapatkan dari psikiater Omma seminggu lalu. Omma sudah tidak pernah ke
psikiater sejak aku SMP. Tapi seminggu lalu, secara tiba-tiba Omma mengajakku
ke psikiater dan menghancurkan janjiku dengan Namjoon.
Aku
menghela nafas dan menyeka air mataku. Apa aku harus kembali ke psikiater? Ya,
seminggu lalu Omma yang butuh psikiater, tapi aku yang diperiksa dan diberi
obat. Ku pikir itu semacam prosedur atau apa. Rasanya tenang saat aku bisa
bercerita pada psikiater itu. Bercerita tentang Namjoon, Namjoon, dan Namjoon.
Tapi setelah pulang dari psikiater Namjoon menghilang. Aku tidak pernah bertemu
dengannya sepulang sekolah, tidak pernah menemuinya di kafe Jungkook, tidak di
taman, bahkan dia tidak mengirim satupun pesan singkat padaku. Dan secara
tiba-tiba, kontaknya lenyap dari ponselku. Aneh, bukan? Tapi dari pada aneh,
aku lebih merasakan sakit.
-FIN-
0 komentar:
Posting Komentar