Hai hai sahabat Lotus! Sekedar rekomendasi aja, FF ini menurut Lotus, FF terbaik yang pernah Lotus buat. Juga ga panjang-panjang banget, so... I don't know. I'll appreciate it kalo kalian baca sampai akhir. Love ya guys!
Btw Lotus kurang puas sama gambarnya. harusnya sih diedit ya, biar sesuai sama karakternya mpi disini. Cuma ya gimana, Lotus ga bisa ngedit :v
Youth Series 6: Moonchild 2
Dengan
berbalut pakaian khas orang barat, lelaki itu menunduk. Dihadapannya, sang
penguasa negeri menduduki singgasana. Kulit putih dan hidung mancungnya
menyamarkan bahwa dia sebenarnya penjelajah dari timur. Setidaknya julukan itu
–penjelajah dari timur- pantas sisematkan padanya untuk kurun waktu tiga tahun
lalu. Sekarang, dia adalah bagian dari negeri ini. Bagian dari hiruk pikuk
negeri orang barat yang sebenarnya penuh misteri.
“Bagaimana, Tuan Kim?” Tanya sang penguasa dengan suara
rendah berwibawa.
“Aku tidak bisa, Tuanku.” Lelaki itu perlahan
memberanikan diri mengangkat wajahnya. Kini terlihat lebih jelas perbedaan
fisik antara dia dan para prajurit yang berjejer dikanan-kirinya.
“Hanya kau yang bisa, Kim.” Sekali lagi sang penguasa
menunjukkan wibawanya melalui suara.
“Tidak Tuanku, Hukum saja aku. Aku pantas mati.” Iris
lelaki itu menurun, memandang lantai marmer yang mengkilat dibawahnya.
“Kalau kau mati, lalu siapa yang akan menyelamatkan
negeri ini?”
Hening. Hanya deru nafas berat sang penguasa yang
terdengar.
“Para prajuritmu yang hebat telah menghabiskan semua
sanaknya diam-diam. Bagaimana bisa aku menjadi penyelamat negeri ini hanya
dengan membunuhnya?” Lelaki itu menunduk. Penyesalan akan tidak bisa menjalankan
tugas dari sang penguasa negeri terlihat jelas di mimik mukanya.
“Prajuritku yang hebat mampu membunuh semua sanaknya,
tapi tidak dengannya. Sedangkan kau, kau bisa berteman dengannya. Seseorang
yang telah membunuh ratusan nyawa di negeri ini.” Sang penguasa bergeming dari
duduk nyamannya. Bokongnya yang tua harus berganti posisi untuk mendapatkan
kenyamanan diatas singgasana.
“Tetap saja aku tidak bisa, Tuanku.” Iris lelaki itu
masih memandang kebawah, seolah sencari setitik kotoran diatas lantai marmer
yang mengkilat.
“Apa kau menyukainya, Kim Taehyung?” Sang penguasa
memajukan kepala, menilik ekspersi rakyat kesayangannya itu.
“Tidak, Tuanku. Dia yang telah menyelamatkanku tiga tahun
lalu. Dia juga alasanku menetap disini. Aku ingin membalas budinya. Bagaimana
bisa aku membunuhnya?” Lelaki yang bernama lengkap hanya dengan tiga suku kata
itu menyanggah.
“Kalau begitu, akan ku suntingkan kau dengan Lady Louise,
jika kau bisa menjalankan tugasmu.” Sontak kalimat yang dilontarkan sang
penguasa membuat para prajurit bergeming. Tanda tidak setuju jika seorang
rakyat pendatang yang bukan apa-apa seperti Taehyung dijodohkan dengan cucu
kesayangan rajanya.
Geming para prajurit hanya berlangsung selama hitungan
lima. Tidak ada lagi suara lain setelah itu. Hening.
Berbeda dengan prajurit yang bergeming, justru hanya
kelopak mata Taehyung yang bergerak setelah sang penguasa mengeluarkan kalimat
mengejutkannya. Jantungnya pun, mungkin berhenti berdetak untuk beberapa saat.
Entah
sampai hitungan keberapa, –yang pasti waktu yang cukup lama untuk mengabaikan
sang penguasa- Taehyung mematung. Syukurlah matanya masih berkedip, sehingga
dapat dipastikan dia tidak mati berdiri.
“Aku akan berusaha semampuku, Tuanku.”
Sang penguasa menghela nafas lega. Sedangkan para
prajurit kembali bergeming.
***
Aku berjalan memasuki halaman luas kediaman keluarga
Standall. Aku mengangkat kepala, memandang gadis ditepi balkon dengan surai
panjang kecoklatan yang terombang-abing oleh angin. Matanya lurus kedepan, memandang
keindahan senja yang menenggelamkan siang. Gadis itu, gadis manis yang sedang
memandang senja, Beatrice Standall, adalah ‘nya’ yang tadi aku bahas dengan
penguasa.
Tidak ada yang menyangka bahwa dia bukan manusia.
Malaikat? Ya, dia memang secantik malaikat, tapi dia bukanlah malaikat. Dia,
‘Werewofl’. Begitu sang raja menyebutnya. Semua orang disini, hanya mengenal Beatrice
sebagai gadis konglomerat yatim piatu yang tidak memiliki sanak saudara. Gadis
konglomerat dingin yang tinggal dirumah besarnya sendirian. Sedangkan fakta
‘Werewofl’ sendiri masih menjadi misteri bagi mereka.
Aku pun begitu, setidaknya satu bulan yang lalu. Sebelum
tiba-tiba aku dipanggil ke istana untuk menemui raja. Sebelum aku mendengar
dari mulut agung raja sendiri bahwa dia telah membunuh seorang warga di setiap
malam bulan purnama. Ada berapa malam bulan purnama selama tiga tahun? Ya, kurang
lebih sebanyak itu dia membunuh orang sejauh aku hidup berdampingan dengannya.
Semua Standall sudah dihabisi oleh prajurit raja. Atau lebih
tepatnya semua ‘Werewolf’ dinegeri ini sudah binasa, kecuali Beatrice. Awalnya
aku prihatin mendengar cerita Beatrice bahwa semua sanak keluarganya sudah
meninggal. Tapi sekarang aku bersyukur. Bersyukur dia masih hidup.
Sepatu boots-ku mulai menaiki tangga melingkar didalam
rumah megah Standall. Keheningan memperjelas ketukan yakin dalam setiap langkah
yang diambilnya. Yakin akan keputusan yang aku buat. Keputusan untuk
menunjukkan pengabdianku kepada sang penguasa negeri. Keputusan untuk
menyelamatkan ratusan nyawa yang siap melayang di malam-malam bulan purnama
berikutnya.
Kini aku dihadapkan oleh siluet punggung Beatrice
berbalut pakaian yang begitu melekat ditubuh atasnya dan mengembang dibagian
pinggah hingga ujung kakinya. Anggun.
Aku menghampirinya. Berdiri disampingnya tanpa
mengganggu.
“Bagaimana
hari mu, Tuan Kim?” Suaranya yang semerdu hembusan angin menyapaku tanpa
mengalihkan pandangnya pada senja.
“Luar biasa. Bagaimana harimu, Nona Standall?” Aku
membalas basa basi yang sebenarnya tidak perlu dilakukan oleh orang-orang
sedekat kami.
“Sejauh ini, biasa saja.”
Hening.
“Mau ku buat luar biasa?”
Beatrice menoleh. Alisnya tertaut. Aku menangkap kata
‘bagaimana’ dari raut wajahnya.
Aku maju satu langkah mendekati Beatrice. Ku condongkan
wajahku, membunuh jarak diantara kami. Kutangkap rahangnya dengan kedua telapak
tanganku. Matanya perlahan tertutup, tapi mataku masih senantiasa menikmati
keindahan setiap lekuk wajahnya. Kehangatan menjalar setelah kedua benda merah
nan lembut itu bertemu. Kami saling berbagi kecupan-kecupan lembut. Sesuatu
yang berdesir didadaku mengalir keseluruh tubuh. Kecupan ini berubah menjadi
lumatan. Semakin dalam, lebut, dan nikmat disaat bersamaan. Tangan kiriku
menurun membelai punggungnya. Tangan kananku juga menurun, untuk merogoh
kantong celanaku. Mengeluarkan pisau yang sudah kupersiapkan. Tangan kanan ku
menggenggam pisau erat, seerat tautan kami diatas sana.
Beatrice tersedak dan melepaskan ciuman. Mulutnya
menganga dan alisnya tertaut. Sekali lagi, aku membaca kata ‘bagaimana’ diraut
majahnya. Pandanganku menurun, pisau itu tertancap sempurna di perut Beatrice.
Darah segar mengalir menembus pakaiannya. Beberapa darah segar lain juga
mengalir melalui tepian pisau lalu menetes di lantai. Kutancapkan pisau lebih
dalam. Bersamaan dengan itu mulut Beatrice semakin menganga, tersedak oleh
udara yang semakin menipis di kerongkongannya. Ku tarik pisau itu, lalu
mencapkannya dengan lebih kuat dari sebelumnya. Darah keluar, bukan hanya dari
perut Beatrice, tapi juga dari mulutnya. Ku tarik lagi pisau dari perut
Beatrice, merasa cukup untuk mengoyak isi perutnya. Ku dekatkan wajahku dengan
wajahnya. Merasakan hembusan nafasnya yang hanya tinggal satu, dua. Bibirku
mengecup lembut bibirnya yang penuh darah, kemudian ke pipi, lalu ke hidungnya
yang sekarang sudah tidak menghembuskan nafas lagi. Dan beralih kematanya,
menutup matanya lembut dengan bibirku.
Aku berhasil, aku telah menjalankan tugas yang diberikan
sang penguasa. Sekarang giliranku mendapatkan hak. Ku sandarkan kepala Beatrice
pada pundak kananku. Menyangga tubuhnya agar tetap berdiri. Ku tancapkan dengan
kuat pisau berumuran darah itu pada perutku. Nyeri yang teramat, menjalar. Ku
tarik dan kutancapkan berkali-kali, dengan harapan mendapatkan hak-ku segera.
Hak untuk hidup bahagia bersama orang yang aku cintai. Hidup bahagia bersamanya,
meskipun tidak di dunia ini. Tarikan dan tancapan itu tidak sekuat sebelumnya,
tanganku melemas. Rasanya begitu sakit. Nafasku tersenggal-senggal. Tubuhku terasa
begitu ringan. Aku ambruk bersamaan dengan tubuh Beatrice diatasku. Pandanganku
mengabur. Samar-samar aku melihat Beatrice mengulurkan tangan. Sudut bibirku
mengulas senyum. Dengan tenaga yang tersisa aku menutup mata. Gelap.
Sepersekon
kemudian Gelap itu berubah menjadi putih. Dan Beatrice yang tadi terihat
samar-samar sekarang begitu jelas. Tangannya masih terulur. Dengan sumringah
tanganku menyambutnya. Dia tersenyum, begitupun aku.
“Ayo, Tae! Ku kenalkan kau pada keluargaku.” Dia
melangkah menuntunku, aku pun mengikutinya. Senyum tidak henti-hentinya terulas
dibibirku. Aku bahagia.
***
Rona jingga senja memudar. Kegelapan perlahan datang.
Sepasang makhluk tuhan itu tergeletak dalam damai. Bukan seikat bunga atau
cincin berlian yang menggambarkan besarnya cinta mereka. Namun darah yang
mengalir dan bau anyir yang menguar.
-FIN-
Tadaaaa!!! gimana? gimana? tinggalin komen dong, Lotus bener-bener pengen tau pendapat kalian soal cerita ini. Oh ya, the last series coming soon!
0 komentar:
Posting Komentar