Selasa, 22 Agustus 2017

Youth Series 5: Moonchild 1 (FF BTS Oneshoot Jimin)



Youth Series 1
Youth Series 2
Youth Series 3
Youth Series 4
Youth Series 6
Youth Series 7




Youth Series 5: Moonchild 1






 “Apa kita benar-benar akan melakukannya?”

Munhye mengangkat kepala. Menghetikan kegiatan mengemas barang ke dalam koper.

Jimin menutup pintu dibelakangnya. Melangkah mendekat pada Munhye yang berada diatas ranjang bersama koper dan beberapa tumpuk pakaian.

“Apa kita terlalu egois?” Munhye menatap tajam mata Jimim. Tidak ada jawaban. Hanya senyum tipis. Senyum tipis yang manis, namun kata miris lebih pas untuk saat ini.

Angin berhembus, menerobos melalui jendela kamar Munhye yang terbuka. Melambaikan tirai abu-abu dan anak rambut Munhye. Di luar sana musim gugur besiap untuk ganti giliran. Angin berhembus lebih kencang, daun-daun kering berterbangan.Warna jingga mendominasi diantara gelap malam.

***

Semilir angin menggerakkan helai dua hanbok yang dipakai dua wanita berbeda derajat itu. Begitupun rumput-rumput hijau yang tumbuh diatas dan diantara makam juga ikut bergetar. Terik matahari menyalurkan kehangatan. Suara merdu ranting-ranting yang bertabrakan dengan angin ikut ambil bagian.

“Putri Munhye seharusnya tidak perlu ikut kesini. Mendengar Tuan Putri mengizinkanku mengunjungi makam ayahku saja, aku sudah sangat berterima kasih.” Seorang  wanita yang terlihat lebih tua, namun berkedudukan lebih rendah itu memulai pembicaraan.

“Aku juga ingin mengunjungi makan ayahmu, Selir Oh.” Putri Munhye tersenyum. Senyum tulus yang selalu memberikan kedamaian pada siapapun yang melihatnya.

Pandangan Putri Munhye beralih pada puncak bukit. Pohon persik besar yang mulai berbunga tumbuh kokoh disana. Namun bukan itu yang menarik perhatian Putri Munhye, melainkan seorang pria yang bersandar dibawah pohon persik dengan menutup mata. “Siapa itu, Selir Oh?”

Selir Oh mengikuti arah pandang Putri. Seulas senyum tersungging sesaat. “Dia, putra panglima perang, Park Jimin.”

***

Selembar daun anggur kering terlepas dari rantingnya. Melayang-layang, lalu terhempas di tanah. Pohon anggur yang merambat pada tembok tua itu kini menyisakan empat lembar daun tua.

Munhye mengerjapkan mata. Duduk bersila menghadap jendela mebuat matanya kering karena terus menerus dihempas angin. Dia menghela nafas, sejenak menenangkan pikiran. Lalu berbalik untuk melihat Jimin yang berkutat didepan meja.

Jimin melipat kertas yang baru saja dia tulis isinya. Melipat serapi yang dia bisa. “Menurutmu bagaimana perasaan Omma, setelah membaca surat ini?” Jimin menoleh pada Munhye.

“Entahlah. Aku justru berfikir betapa marahnya dia setelah mengetahui apa yang terjadi pada kita.” Munhye berbalik lagi kearah jendela. Empat lembar daun anggur itu masih disana, bergerak-gerak ketika bertemu dengan angin.

Jimin meletakkan surat diatas meja, lalu menindih ujungnya dengan vas bunga. “Marah? Ku pikir dia akan menangis.” Jimin bangkit dari duduknya. Berdiri disamping ranjang. Ikut melihat daun anggur yang terombang-ambing angin. “Kita anak durhaka.”

Angin kencang berhembus. Empat lembar daun anggur itu bergetar cepat. Satu lembar yang paling lebar mengalah. Ia terhempas jauh, lalu membaur dengan daun-daun kering lain diatas tanah.

***

Angin malam berhembus. Dengan tangan yang membawa sebuah lentera dan mengangkat hanboknya, Putri Munhye berlari keatas bukit.

Dia terengah-engah setelah tiba dipuncak. Namun kemudian dia tersenyum setelah melihat Park Jimin memetik buah persik, dari samar-samar cahaya lenteranya.

“Seorang Putri tidak seharusnya menyusup keluar dari istana hanya untuk menemui rakyat biasa sepertiku.” Jimin berbalik, dengan satu buah persik matang sempurna ditangannya.

“Kemarin kau juga menyusup keistana untuk menemuiku. Oh, Ayolah... Kau berkata seperti akulah yang begitu menyukaimu.” Putri Munhye meletakkan lenteranya.

“Bukankah itu memang benar? Bukankah kau langsung mencintaiku saat kau pertama kali melihatku tertidur dibawah pohon persik ini?” Jimin berjalan mendekati Putri Munhye, lalu duduk disampingnya.

Putri Munhye tertawa tanpa menghilangkan aura keanggunannya. “Kau terlalu percaya diri. Kau kira kau siapa?”

“Aku?” Jimin melempar dan menangkap buah persik beberapa kali. “Aku putra panglima perang Goryo, Park Jimin. Pria yang dicintai Putri Munhye.” Jimin tertawa kecil. Merasa bangga pada kalimat yang baru saja diucapkannya.

Putri Munhye ikut tertawa. Tawa itu meninggalkan rona merah alami pada pipinya.

“Kau tidak duduk?” Jimin masih memainkan buah persik itu dengan melempar dan menangkapnya.

“Tidak.” Putri Munhye menunduk melihat Jimin.

“Kau takut pakaianmu kotor?” Jimin berhenti memainkan buah persik. Dia mendongak untuk melihat wajah Putri Munhye. Disinari sorot cahaya rembulan, bagi Jimin, wajah Putri Munhye tampak seperti malaikat yang sedang menyamar.

“Tidak. Hanya agar kau tahu kedudukanku.” Putri Munhye memalingkan wajahnya. Menyembunyikan senyum miris pada gelap malam.

***

Tiga lembar daun anggur masih bertahan. Sedangkan angin masih terus berhembus, membuat seorang gadis  pejalan kaki itu mendekap tubuhnya sendiri.

Jimin memeluk Munhye dari belakang. Dia tidak membiarkan Munghye kedinginan seperti gadis pejalan kaki itu. Munhye menoleh. Jimin meletakkan dagunya pada bahu Munhye. Munhye mengecup singkat bibir Jimin, lalu meluruskan pandangan lagi dengan pohon anggur yang merambat pada tembok tua.

“Kita bisa batalkan ini jika kau mau.” Jimin membelai rambut Munhye.

“Tidak.”

“Biar aku saja yang pergi. Kau tetap disini, dengan begitu kau bisa melupakanku.” Jimin masih membelai rambut Munhye. Kali ini dibantu oleh angin yang berhembus menerobos jendela.

“Apa kau percaya pada akhirat?” Munhye meraih tangan Jimin yang membelai rambutnya. “Jika akhirat benar-benar ada,  aku pasti akan disiksa disana karena mencintai kakakku sendiri.” Dia menggenggam tangan Jimin lebih erat. “Jadi Oppa, hanya didunia ini kita bisa hidup bahagia bersama. Jangan sia-siakan kesempatan ini.”

“Tapi jika kita lanjutkan, kita harus mempertanggung jawabkan hal yang lebih berat nantinya diakhirat.” Jimin membalas genggaman tangan Munhye.

“Kita sudah melakukan ‘nya’, Oppa. Apa menurutmu itu bukan hal yang berat?”

Angin kencang berhembus lagi. Tiga lembar daun anggur itu bersiap untuk kehilangan salah satu dari mereka. Daun yang paling jingga bergerak lebih kencang dari yang lain. Angin kencang berlalu. Daun paling jingga terpisah dari teman-temannya. Dia melayang-layang diudara untuk beberapa saat, hingga akhirnya tergeletak begitu saja ditanah.

***

Bunyi gong menggema. Putri Munhye berlari. Kedua tangannya mengangkat hanbok yang menyulitkan langkahnya. Tidak ada yang dipikirkannya kecuali berlari dan terus berlari. Bukan hanya sekali dua kali dia tersandung langkahnya sendiri. Nafasnya semakin terengah-engah ketika dia tiba di kuil. Bukannya memperlambat langkahnya, dia masih saja berlari hingga memasuki bagian dalam kuil. Dia berlari menaiki tangga didalam kuil dengan sekuat tenaga. Hingga akhirnya dia tiba di balkon kuil. Dari sana, dia dapat melihat beberapa tempat di istana.

Putri Munhye bersimpuh. Tidak terhitung berapa tetes air mata yang jatuh dari matanya. Dia meraung. Menangis seperti serigala. Jari-jari tangannya mencakar hanbok lalu memerasnya. Menyalurkan emosi yang meluap dari dalam dadanya.

 Dibawah sana, suatu tempat di istana yang dapat dijangkau oleh pandangan jika kau berada di balkon kuil. Ditempat itu, seseorang terayun-ayun dengan seutas tali di lehernya. Bercak kemerahan menjadi motif pakaian putih orang itu. Disana, di tempat eksekusi, Park Jimin telah kehilangan nyawa.

***

Pohon anggur yang merambat pada tembok tua menyisakan dua lembar daun. Dua lembar daun anggur itu masih tetap tegar diterpa angin. Namun, semakin malam angin menjadi semakin angkuh. Dia berhembus semakin kencang, membiarkan selembar daun anggur terjatuh. Meninggalkan temannya gemetar sendirian.

Jimin mengetuk dua kali pintu kamar Munhye. Dengan setelan yang menunjukkan bahwa dia akan berpergian, Jimin meletakkan tangannya pada pegangan koper. “Aku tunggu di luar.” Dia berbalik setelah mengatakannya, lalu melangkah pergi dan menarik kopernya.

Munhye pun sudah bersiap. Dia melangkah menuju pintu sambil menarik koper miliknya. Diambang pintu, munhye berbalik. Sesaat mengamati kamar bernuansa putih itu untuk yang terakhir kali, setelah ia tiduri selama bertahun-tahun. Munhye melanjutkan langkahnya, Dan pintu itu akhirnya tertutup.

Sekali lagi, angin bertiup kencang. Selembar daun anggur yang bersikukuh bertahan ditempatnya berakhir terguncang. Dia tersapu oleh angin bersama daun-daun jingga lainnya. Membiarkan Pohon anggur yang merambat pada tembok tua itu menjadi hampa.

***

Selir Oh menghampiri Putri Munhye yang duduk diatas ranjang. Dia membawa nampan berisi secangkir teh untuk Putri Munhye. Tangan Selir Oh bergetar ketika menyuguhkan teh pada Putri Munhye. Tapi Putri Muhye hanya tersenyum dan mengambil cangkir terh itu. “Maafkan aku telah menyusahkanmu, Selir Oh.” Suara lembut Putri Munhye semakin membuat Selir Oh gemetar.

Selir Oh mengangkat kepala. Untuk pertama kalinya dia menatap dalam mata Putri Munhye. “Apapun akan aku lakukan untuk kebahagiaanmu, Putri.” Butiran air satu persatu menetes dari mata wanita paruh baya itu. “Tapi pastikan kau akan mencari Park Jimin di kehidupan selanjutnya.”

Putri Munhye sekali lagi menunjukkan senyum tulusnya, lalu menenggak habis teh dalam cangkir. Tidak butuh waktu lama, hanya berselang beberapa detik kemudian, tubuh Putri Munhye lemas dan dia menghembuskan nafas berat. Dia terbatuk, seketika cairan merah kental menyembur dari mulutnya. Wajahnya perlahan memucat dan nafasnya semakin berat. Beberapa kali dia menjerit kesakitan. Hingga pada akhirnya nyawa itu benar-benar terpisah dari tubuhnya.

***

“Oppa, apa kau percaya reinkarnasi?”

Jimin mengalihkan pandangannya dari kaca pesawat. “Jika reinkarnasi benar-benar ada, mungkin di kehidupan sebelumnya kita sepasang kekasih.”

“Jika reinkarnasi benar-benar ada, aku akan berdoa agar kita tidak dipertemukan di kehidupan selanjutnya.” Munhye sejenak menyamankan duduknya dikursi pesawat. “Untuk apa dipertemukan jika tidak diperbolehkan bersama?”

Sekilas senyum terulas dibibir penuh Jimin. “Kata mereka, sebanyak apa pun kita dihidupkan kembali, kita akan tetap menanggung perbuatan kita nantinya diakhirat. Ku rasa jika di kehiduan selanjutnya kita di pertemukan lagi, kita akan membuat lebih banyak dosa untuk dipertanggung jawabkan diakhirat.”

Munhye menoleh kearah Jimin. “Jadi kau setuju denganku?”

Jimin mengedikkan bahu. “Mungkin, ya.”

“Kau juga setuju untuk tidak menyia-nyiakan kehidupan kita saat ini untuk hidup bersama?” Munhye mendekatkan kepalanya pada Jimin, menyelidik jawaban apa yang akan diberikan kakaknya.

Dan Jimin mengangguk.

***

“Jumlah korban yang diketahui identitasnya bertambah dua orang. Mereka adalah kakak beradik, Park Jimin dan Park Munhye. Mereka akan...”

Biip..

Gadis itu mematikan TV, membiarkan laporan pembawa acara itu terpotong. Gadis itu tersenyum masam. Park Jimin dan Park Munhye, sepasang kakak beradik yang tinggal di ujung gang. kemarin malam, gadis itu berjalan kaki melewati gang. Dia melihat kakak beradik ini berpelukan didepan jendela. Dan sekarang, mereka dilaporkan menjadi korban jiwa kecelakaan pesawat.

Gadis itu mengulangi senyum masamnya. Dia menyambar jaket, lalu berjalan keluar rumah. Merasa sedikit kecewa, karena pemandangan kakak beradik yang berpelukan mesra akan digantikan oleh hiruk pikuk rumah duka.


-FIN-

Maaf kalau bagian akhirnya mengecewakan kalian. Tapi dari akhir yang mengecewakan ini, aku harap kalian dapat mengambil hikmahnya. Soalnya Lotus sudah mempersiapkan sebuah pesan untuk kalian dari cerita yang mengecewakan ini. Terimakasih, Youth Series 6 is here! :)







0 komentar:

Posting Komentar

 

Lotus Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang