Jumat, 11 Agustus 2017

Youth Series 3: Untittled 2 (FF BTS Oneshoot Suga)



Youth Series 1
Youth Series 2
Youth Series 4

Youth Series 5
Youth Series 6
Youth Series 7

Cerita ini terinspirasi dari 'About The Girl Who Dressed in Black', milik akun wattpad @prohngs. Kalau kalian udah pernah baca, anggap aja yang ini versi koreanya.



Youth Series 3: Untittled 2





Hanya butuh setitik warna untuk menghidupkan yang kelam...



Mentari hangat di musim semi menyambut. Memaksaku bahagia dengan rutinitas baruku. Bau semerbak bunga menyeruak masuk indra penciuman. Tanganku meraih selembar kertas berisi tulisan tangan ayahku di atas meja kayu. Baiklah, apa yang harus ku lakukan pertama-tama. ‘Mengantarkan seikat bunga bugunghwa pada Pak Bang, Bangtan Kafe. ( 3 hari sekali)’...

Apa-apaan ini? Orang macam apa yang memesan bunga bugunghwa setiap 3 hari sekali? Apa dia benar-benar berjiwa nasionalis?

Aku beranjak untuk menyiapkan bunga-bunga yang harus kuantar pagi ini. Aku mengambil beberapa macam warna bungga bugunghwa, dan mengemasnya sebisaku. Lalu kulanjutkan dengan beberapa bunga krisan putih, cherry blossom, dan blue salvia.

Setelah beberapa kali aku menstarter motorku, akhirnya dia mau menyala. Aku menoleh memastikan keberadaan bunga-bunga di keranjang motorku. Ku hela nafas panjang sebelum aku menjalankannya. Meyakinkan diriku sendiri, jika mengelola florist meneruskan ayahku bukanlah hal yang begitu buruk.

***

Aku memasuki Bangtan Kafe dengan kikuk. Ini masih setengah tujuh pagi, tapi beberapa meja di Bangtan Kafe sudah terisi. Beberapa karyawan kafe berlalu-lalang. Beberapa lainnya bersih-bersih, beberapa lainnya melayani pelanggan, dan sisanya berada dibalik konter.

“Permisi, Apakah saya bisa bertemu Pak Bang?” Tanyaku pada pria dengan tubuh berisi dibalik meja kasir.

“Ya, saya sendiri.”

“Oh, ini Pak, bunga bugunghwa anda.” Ku letakkan bunga itu diatas meja kasir.

“Oh! kau pasti Min Yoongi!” Pak Bang membuka mulutnya antusias.

“Iya, Pak.” Aku tersenyum pada Pak Bang. Kalau tebakanku benar, dia pasti orang yang menyenangkan.

“Wahh... Aku tidak mengira jika kau akan begitu tampan.” Pak Bang terkekeh. “Kau pasti menurun ibumu.”

Aku ikut tertawa mendengar ucapan Pak Bang. Biar ku tebak sekali lagi, dia pasti begitu dekat dengan ayahku.

Setelahnya Pak Bang terlihat kebingungan. Tangannya bergantian merogoh saku. “Dimana aku melatakkan dompetku tadi?” Matanya mengedar ke sekeliling. “ah, mungkin tertinggal di toilet. Tunggu disini dulu, ya.” Pak Bang beranjak dari duduknya, dan meninggalkanku.

Sambil menunggu Pak Bang, mataku mengedar kesekeliling kafe. Memperhatikan dekorasi kafe yang bernuansa coklat ini. Kemudian beralih ke pemandangan bahagia yang ditampilkan pengungjung kafe, dan raut semangat yang ditampilkan para karyawan. Tapi ada satu yang menarik perhatianku. Gadis yang berada dibalik meja konter itu. Seorang karyawan berbalut pakaian serba hitam dibalik clemek coklatnya. Jari-jari lentik dengan kuku yang dihitamkan itu menangkup cangkir. Mengangkat cangkit itu dan mendekatkan pada bibir penuhnya. Setelah menyeruput isi cangkir, kepala gadis itu terangkat. Matanya menatap kearah jajaran meja pelanggan. Namun pandangannya kosong.

***

Aku melangkah memasuki Bangtan Kafe. Pemandangan yang ku lihat masih seperti tiga hari yang lalu. Karyawan kafe mondar-mondir dan beberapa meja yang terisi oleh pelanggan. Pak Bang masih setia ditempatnya, dibalik meja kasir. Aku menghampirinya, dan meletakkan bunga diatas meja kasir.

“Ini bunga bugunghwa-mu, Pak.” Setelah sesaat aku mengucapkannya, mataku langsung tertuju pada gadis itu. Gadis serba hitam dibalik meja konter dengan secangkir minuman. Aku mengikuti apa yang dia tatap. Tapi seperti sebelumnya, dia tidak menatap apa-apa. Kali ini, lamat-lamat aku memperhatikan wajahnya. Manis.

“Ini, ambil saja kembaliannya.” Kalimat Pak Bang mengalihkan pandanganku. Ku terima uang pemberian Pak Bang, lalu keluar dari Kafe.

***

Ini adalah hari ke-tujuh aku menyandang gelar pemilik florist. Dan hari ke-tiga aku memasuki Bangtan Kafe. Kali ini aku tidak memperdulikan aktivitas karyawan kafe maupun pelanggannya. Mataku praktis tertuju pada gadis itu. Masih dengan pakaian serba hitam, secangkir minuman dan tatapan kosong. Aku tidak tahu apa-apa tentangnya. Tapi entah kenapa dia begitu menarik perhatianku. Yang jelas, hal yang aku tahu dari dia hanya, dia karyawan Bangtan Kafe, dan dia suka warna hitam.

“Apa yang kau perhatikan, Min Yoongi?” Terpaksa aku berhenti memandangi gadis itu setelah mendengar ucapan Pak Bang.

Aku mengulas senyum. “Bukan apa-apa, Pak.” Ku sambar uang yang diletakkan Pak Bang diatas meja kasir. Kemudian melangkah meninggalkan Kafe.

***

Hari ke-delapan aku menjadi pemilik florist. Pagi ini aku kembali melangkahkan kaki menaiki empat anak tangga Bangtan Kafe. Namun kali ini bukan untuk mengantar bunga. Melainkan hanya sekedar mampir dan memperhatikan gadis itu.

“Hei! Min Yoongi! Tiga hari terasa cepat sekali ya! Rasanya baru kemarin kau kemari.” Pak Bang menyapaku dari balik meja kasir sesaat setelah aku memasuki kafe.

“Memang baru kemarin aku kemari, Pak Bang.”

“Oh! Benarkah? Lalu, kenapa kau kesini.”

“Hanya ingin mampir saja, Pak. Aku sungguh penasaran kenapa kafe ini begitu ramai.” Aku mengulas senyum yang dari lahir memang sudah manis.

Pak Bang terkekeh. “Baiklah, baiklah. Carilah tempat duduk paling nyaman, euh!”

“Siap!” Jawabku antusias lalu berjalan menuju sebuah meja kosong dipojokan.

Seorang pelayan menghampiriku.

“Aku mau minuman yang dipesan gadis itu.” Kataku menunjuk si gadis setelah pelayan ini bertanya ‘mau pesan apa’. “Dan tolong agar gadis itu yang mengantarkan pesananku.” Pelayan ini tersenyum jahil, dia tahu apa maksudku.

Pelayan pergi. Pandangan mataku kembali sejajar dengan gadis itu.

Dia mengangkat cangkir, menempelkan bibir cangkir pada bibir penuhnya. Dari sini, masih terlihat kuku-kukunya dihiasi warna hitam. Pakaiannya dibalik clemek coklat itu juga masih hitam. Rambutnya yang diurai sedikit berantakan, dan menurutku itu seksi. Matanya tertutup ketika dia menyeruput isi cangkir. Dia membuka mata, meletakkan cangkir diatas konter tanpa melepas tangan yang menagkupnya. Diam, matanya lurus kedepan, dan sesekali berkedip atau menghela nafas. Lalu mengangkat cangkir itu lagi, meminum isinya, dan begitu seterusnya sampai pelayan yang tadi menghampiriku menepuk bahunya.

Gadis itu berjalan kearahku membawa nampan berisi secangkir minuman. Pandangannya masih saja kosong, sampai-sampai aku takut kalau saja dia tersandung kaki meja.

Dia tiba dihadapanku tanpa tersandung kaki meja. Meletakkan cangkir dengan asap yang mengepul diatasnya. Dia berbalik dan melangkah pergi. Setidaknya berniat melangkah pergi. Karena sebelum dia sempat melangkah lebih dari satu langkah, tanganku menahan lengannya. “Bisakah kau duduk disini?” Daguku terangkat sekilas menunjuk kursi didepanku.

Matanya yang cukup besar dengan iris hitam itu menatapku tajam, sejenak membuatku meriding. “Emm... bisakah kau melakukannya sebagai servis pelanggan?” Tanyaku lagi, kali ini dengan lebih memohon.

Dia mengalihkan tatapan tajam itu. Menarik kursi didepanku, dan duduk. Aku tidak menyangka dia akan duduk begitu saja.

Ku angkat cangkir minumanku. Ku tiup beberapa kali, lalu menyeruputnya. Black coffee. Bertambah satu hal yang aku tahu dari gadis ini. Dia karyawan Bangtan Kafe, dia suka warna hitam, dan dia suka black coffee.

“Boleh ku tahu siapa namamu?” Tanyaku, tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini untuk mengetahui lebih banyak tentangnya.

“Daiji.” (bunga aster).

“Nama yang cantik.”

“Terimakasih.”

Hal yang aku tahu tentang gadis ini; Dia karyawan Bangtan Kafe, dia suka warna hitam, suka black coffee, dan dia bernama Daiji.

***

Silau matahari menembus kaca, menabrak kulit lenganku, memberi sensasi hangat. Aku duduk dikursi kayu, sedangkan kedua tanganku berkutat diatas meja kayu yang penuh dengan plastik dan bunga-bunga. Lonceng berdenting ketika pintu terbuka, mengalihkan perhatianku. Seseorang dengan pakaian serba hitam dantang. Daiji.

Kemarin kami berbincang sedikit banyak. Ketika dia bilang akan pergi floristku, ku pikir hanya basa-basi. Ternyata dia benar-benar datang.

“Aku mencari Daffodil, ada?”

“Ada, tentu saja.” Aku berdiri, berjalan menuju rak berisi bunga-bunga segar yang terangkai rapi. Ku ambil seikat bunga Daffodil kuning, dan ku berikan padanya.

“Berapa?”

“Tidak usah.”

Dia tersenyum. Ini pertama kalinya aku melihat dia tersenyum. Manis. “Terimakasih.”

“Apa itu untuk seseorang?”

“Ya, pacarku.” Sial! Bisakah aku memintanya membayar bunga itu, sekarang?

Hal yang aku tahu tentang gadis ini. Dia karyawan Bangtan Kafe, dia suka warna hitam, dia suka black coffee, dia bernama Daiji, dan dia sudah punya pacar.

 “Boleh aku meminta bantuanmu?” Tanyanya, tanpa sadar jika dia baru saja membuatku kecewa.

“Apa?”

“Bisakah kau mengantarku kerumah pacarku?”

“Bukankah nanti pacarmu bisa salah paham?”

“Tidak, aku bisa menjelaskannya. Lagipula, aku ingin mengenalkanmu padanya.”

“Baiklah.” Maksudku, untuk apa? Tidakkah kau tahu jika ketertarikanku padamu berkurang 85% ketika ku tahu kau sudah punya pacar?

***

Aku dan Deiji berjalan diatas jalan setapak diantara rerumputan hijau. Langkah kami berat karena berlajan menanjak. Mungkin rumah pacarnya ada dibalik bukit atau bagaimana, aku tidak begitu perduli. Aku lebih mengkhawatirkan motorku yang ku parkir ditepi jalan raya. Tidak ada suara diantara kami, kecuali suara sepatu yang bertemu dengan tanah, atau suara angin yang berhembus mengombang-ambingkan rambut panjang Deiji.

“Apa kau libur hari ini?” Tanyaku memecah keheningan.

“Tidak.”

“Cuti?”

“Tidak.”

“Lalu?”

“Aku hanya, keluar sebentar.”

“Kau tidak dimarahi?”

“Siapa yang mau marah pada pemilik kafe?”

Baiklah, hal yang aku tahu dari gadis ini; Dia pemilik Bangtan Kafe, dia suka warna hitam, suka black coffee, bernama Deiji, dan sudah punya pacar.

Deiji berhenti ketika kami berada dibawah pohon besar. Aku menoleh kesekeliling. Sekarang, kami berada dipuncak bukit. Deiji melanjutkan langkahnya, tapi tidak searah dengan jalan setapak. Dia berbelok, melewati pohon besar, dan berhenti didepan sebuah gundukan tanah. Otomatis aku mengikutinya, berdiri disampingnya.

“Jiyong-a... Kali ini, aku bersama seseorang.” Tunggu, apa dia berbicara kepada gundukan tanah itu? “Ah, tidak, tidak. Aku tidak berselingkuh dengannya.” Dia menoleh kearahku. “Katakan, Yoongi. Katakan pada Jiyong jika kita tidak berselingkuh!”

“Kami tidak berselingkuh, Ji... Jiyong-shi.” Apa yang baru saja kulakukan? Kenapa aku juga berbicara pada gundukan tanah ini?

“Kau dengar sendiri, kan.” Deiji menghela nafas. Bersamaan dengan angin kencang yang berhembus. Hening. Sejenak bulu kudukku meremang. “Setiap hari aku kesini, Tapi kau terus saja mengacuhkanku. Kau tahu aku sudah mulai bosan.” Suara Deiji tercekat diakhir kalimat. Bahunya terguncang. Dia menangis. “Lidahku rasanya sudah mati rasa karena setiap pagi meminum Black coffee. Aku benci Black coffee, tapi aku terus meminumnya karena kau suka.”

“Deiji...”

Bahu Deiji kembali terguncang. Tapi kali ini dia tertawa. Dia berhasil membuatku merinding. “Kau dengar, Jiyong? Dia memanggilku Deiji. Sama sepertimu, sekarang aku menggunakan nama palsu ketika berkenalan dengan orang baru. Ternyata itu menyenangkan.” Dia tertawa kecil, dengan pipi yang masih basah oleh air mata. “Kenapa Deiji (Bunga Aster)? Karena dia melambangkan kesetiaan, sama halnya rasa setiaku padamu.”

Dia meletakkan seikat Bunga Daffodil diatas makam Jiyong. Memberi tambahan sedikit warna pada gundukan tanah yang mulai ditumbuhi rumput itu. “Tapi, sepertinya sekarang aku tidak boleh menggunakan nama itu lagi. Lihat, aku membawakanmu Daffodil. Kau tahu artinya, kan? Terlahir kembali, semangat baru.” Deiji menghela nafas. Pandangannya lurus kedepan, namun kali ini berarti. “Semangat hidupku sudah mati ketika kau pindah kesini. Aku tidak mau terus menerus hidup sia-sia. Aku ingin terlahir kembali.” Setitik air mata kembali menetes membasahi pipinya. “Sekarang, mari kita akhiri.”

Hal yang aku tahu tentang gadis ini; dia pemilik Bangtan Kafe, dia berpakaian hitam setiap hari karena setiap hari pergi ke makam, dia benci black coffee, namanya bukan Deiji, dan dia baru saja putus dengan pacarnya.


-FIN-


Youth Series 3 is here!

Ps: Lotus lagi pusing mencoba memahami teori Love Yourself. Buat kalian yang pusing juga, mending refressing dulu baca-baca Youth Series. Youth Series ini juga ada teorinya, tapi ga serumit dan seindah teorinya Bighit lah. Ini masih Agustus guys, tapi kita udah sarapan teori tiap pagi. Septembernya kita mampus.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Lotus Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang